I.
PENGANTAR
Sekularisme,
saat ini di dunia Islam
bukanlah menjadi sesuatu yang asing lagi. Dapat dikatakan bahwa sekularisme
kini telah menjadi bagian dari tubuhnya, atau bahkan menjadi tubuhnya itu
sendiri. Ibarat sebuah virus yang menyerang tubuh manusia, dia sudah menyerang
apa saja dari bagian tubuhnya itu. Bahkan yang lebih hebat, virus itu telah
menghabisi seluruh tubuh inangnya dan menjelma menjadi wujud sosok baru, bak
menjelma menjadi sebuah monster yang besar dan mengerikan, sehingga sudah sulit
sekali dikenali wujud aslinya.
Begitulah
kondisi ummat Islam saat ini dengan sekularismenya. Perkembangan sekularisme
sudah seperti gurita yang telah menyebar dan membelit kemana-mana. Hampir tidak
ada sisi kehidupan ummat ini yang terlepas dari cengkeramannya. Sehingga ummat
sudah tidak menyadarinya lagi, atau bahkan mungkin sudah jenak dengan
keberadaannya tersebut.
Akibat
panjangnya rantai sekularisme dalam tubuh ummat ini, ummat Islam sudah sangat
mengalami kesulitan untuk mendeteksi keberadaannya. Sehingga tidak aneh jika
ada banyak dari kalangan ummat Islam yang merasa tersinggung dan marah jika
dituduh sebagai sekuler atau menjalankan sekularisme dalam
kehidupan pribadi atau dalam bernegara. Mereka akan menolak mentah-mentah
tuduhan itu. Mereka merasa jijik dan najis dengan sekularisme itu, dan
merekapun akan menolak dengan tegas jika diseru untuk menjalankan sekularisme
dalam kehidupannya. Namun kenyataan yang sesungguhnya, mereka sudah berkubang
dalam limbah sekularisme itu sendiri. Menyedihkan.
Hal
inilah yang memprihatinkan kita semua. Oleh karena itu, dalam tulisan ini,
penulis ingin membantu mengungkapkan kembali sekularisme dengan segala tubuh,
tangan, kaki dan jari-jemarinya yang telah menggurita dan membelit kemana-mana.
Berikutnya, penulis akan membahas sekularisme dan segenap rantai panjangnya
menurut pandangan Islam.
II.
RANTAI SEKULARISME
Inti
dari faham sekularisme menurut An-Nabhani (1953) adalah pemisahan agama
dari kehidupan (faşlud-din ‘anil-hayah).
Menurut Nasiwan (2003), sekularisme di bidang politik ditandai dengan 3 hal,
yaitu: (1). Pemisahan pemerintahan dari ideologi keagamaan dan struktur
eklesiatik, (2). Ekspansi pemerintah untuk mengambil fungsi pengaturan dalam
bidang sosial dan ekonomi, yang semula ditangani oleh struktur keagamaan, (3).
Penilaian atas kultur politik ditekankan pada alasan dan tujuan keduniaan yang
tidak transenden.
Tahun yang dianggap sebagai
cikal bakal munculnya sekularisme adalah 1648. Pada tahun itu telah tercapai
perjanjian Westphalia. Perjanjian itu
telah mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun antara Katholik dan Protestan di
Eropa. Perjanjian tersebut juga telah menetapkan sistem negara merdeka yang
didasarkan pada konsep kedaulatan dan menolak ketundukan pada otoritas politik
Paus dan Gereja Katholik Roma (Papp, 1988). Inilah awal munculnya sekularisme. Sejak itulah aturan main
kehidupan dilepaskan dari gereja yang dianggap sebagai wakil Tuhan. Asumsinya
adalah bahwa negara itu sendirilah yang paling tahu kebutuhan dan kepentingan
warganya, sehingga negaralah yang layak membuat aturan untuk kehidupannya.
Sementara itu, Tuhan atau agama hanya diakui keberadaannya di gereja-gereja
saja.
Awalnya sekularisme memang
hanya berbicara hubungan antara agama dan negara. Namun dalam perkembangannya,
semangat sekularisme tumbuh dan berbiak ke segala lini pemikiran kaum
intelektual pada saat itu. Sekularisme menjadi bahan bakar sekaligus sumber
inspirasi ke segenap kawasan pemikiran. Paling tidak ada tiga kawasan penting
yang menjadi sasaran perbiakan sekularisme, sebagaimana yang akan diungkap
dalam tulisan ini:
- Pengaruh sekularisme di bidang aqidah
Semangat sekularisme ternyata
telah mendorong munculnya libelarisme dalam berfikir di segala bidang.
Kaum intelektual Barat ternyata ingin sepenuhnya membuang segala sesuatu yang
berbau doktrin agama (Altwajri,1997). Mereka sepenuhnya ingin mengembalikan
segala sesuatunya kepada kekuatan akal manusia. Termasuk melakukan reorientasi
terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan hakikat manusia, hidup dan
keberadaan alam semesta ini (persoalan aqidah).
Altwajri memberi contoh
penentangan para pemikir Barat terhadap faham keagamaan yang paling fundamental
di bidang aqidah adalah ditandai dengan munculnya berbagai aliran pemikiran
seperti: pemikiran Marxisme, Eksistensialisme, Darwinisme, Freudianisme dsb.,
yang memisahkan diri dari ide-ide metafisik dan spiritual tertentu, termasuk
gejala keagamaan. Pandangan pemikiran seperti ini akhirnya membentuk pemahaman
baru berkaitan dengan hakikat manusia, alam semesta dan kehidupan ini, yang
berbeda secara diametral dengan faham keagamaan yang ada. Mereka mengingkari
adanya Pencipta, sekaligus tentu saja mengingkari misi utama Pencipta
menciptakan manusia, alam semesta dan kehidupan ini. Mereka lebih suka menyusun
sendiri, melogikakannya sediri, dengan kaidah-kaidah filsafat yang telah
disusun dengan rapi.
- Pengaruh
sekularisme di bidang pengaturan kehidupan
Pengaruh dari sekularisme
tidak hanya berhenti pada aspek yang paling mendasar (aqidah) tersebut, tetapi
terus merambah pada aspek pengaturan kehidupan lainnya dalam rangka untuk
menyelesaikan segenap persoalan kehidupan yang akan mereka hadapi. Hal itu
merupakan konsekuensi logis dari ikrar mereka untuk membebaskan diri dari Tuhan
dan aturan-aturanNya. Sebagai contoh sederhana yang dapat dikemukakan
penulis adalah:
- Di bidang pemerintahan
Dalam bidang pemerintahan, yang dianggap sebagai
pelopor pemikiran modern dalam bidang politik adalah Niccola Machiavelli, yang
menganggap bahwa nilai-nilai tertinggi adalah yang berhubungan dengan kehidupan
dunia dan dipersempit menjadi nilai kemasyhuran, kemegahan dan kekuasaan
belaka. Agama hanya diperlukan
sebagai alat kepatuhan, bukan karena nilai-nilai yang dikandung agama itu
sendiri (Nasiwan, 2003). Disamping itu muncul pula para pemikir demokrasi
seperti John Locke, Montesquieu dll. yang mempunyai pandangan bahwa
pemerintahan yang baik adalah pemerintahan konstitusional yang mampu membatasi
dan membagi kekuasaan sementara dari mayoritas, yang dapat melindungi kebebasan
segenap individu-individu rakyatnya. Pandangan ini kemudian melahirkan tradisi
pemikiran politik liberal, yaitu sistem politik yang melindungi kebebasan
individu dan kelompok, yang didalamnya terdapat ruang bagi masyarakat sipil dan
ruang privat yang independen dan terlepas dari kontrol negara (Widodo, 2004).
Konsep demokrasi itu kemudian dirumuskan dengan sangat sederhana dan mudah oleh
Presiden AS Abraham Lincoln dalam pidatonya tahun 1863 sebagai: “pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” (Roberts & Lovecy, 1984).
b.
Di bidang ekonomi
Dalam
bidang ekonomi, mucul tokoh besarnya seperti Adam Smith, yang menyusun teori
ekonominya berangkat dari pandangannya terhadap hakikat manusia. Smith
memandang bahwa manusia memiliki sifat serakah, egoistis dan mementingkan diri
sendiri. Smith menganggap bahwa sifat-sifat manusia seperti ini tidak negatif,
tetapi justru sangat positif, karena akan dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan secara keseluruhan. Smith berpendapat bahwa sifat egoistis manusia
ini tidak akan mendatangkan kerugian dan merusak masyarakat sepanjang ada persaingan
bebas. Setiap orang yang menginginkan laba dalam jangka panjang (artinya
serakah), tidak akan menaikkan harga di atas tingkat harga pasar (Deliarnov,
1997).
c.
Di bidang sosiologi
Dalam bidang sosiologi, muncul pemikir besarnya
seperti Auguste Comte, Herbert Spencer, Emile Durkheim dsb. Sosiologi ingin
berangangkat untuk memahami bagaimana masyarakat bisa berfungsi dan mengapa
orang-orang mau menerima kontrol masyarakat. Sosiologi juga harus bisa menjelaskan perubahan sosial, fungsi-fungsi
sosial dan tempat individu di dalamnya (Osborne & Loon, 1999). Dari
sosiologi inilah diharapkan peran manusia dalam melakukan rekayasa sosial dapat
lebih mudah dan leluasa untuk dilakukan, ketimbang harus ‘pasrah’ dengan apa
yang dianggap oleh kaum agamawan sebagai ‘ketentuan-ketentuan’ Tuhan.
d.
Di bidang pengamalan agama
Dalam pengamalan agama-pun ada prinsip sekularisme
yang amat terkenal yaitu faham pluralisme agama yang memiliki tiga pilar
utama (Audi, 2002), yaitu: prinsip kebebasan, yaitu negara harus
memperbolehkan pengamalan agama apapun (dalam batasan-batasan tertentu); prinsip
kesetaraan, yaitu negara tidak boleh memberikan pilihan suatu agama
tertentu atas pihak lain; prinsip netralitas, yaitu negara harus
menghindarkan diri pada suka atau tidak suka pada agama.
Dari prinsip pluralisme agama inilah muncul
pandangan bahwa semua agama harus dipandang sama, memiliki kedudukan yang sama,
namun hanya boleh mewujud dalam area yang paling pribagi, yaitu dalam kehidupan
privat dari pemeluk-pemeluknya.
3.
Pengaruh sekularisme di bidang akademik
Di bidang akademik, kerangka
keilmuan yang berkembang di Barat mengacu sepenuhnya pada prinsip-prinsip
sekularisme. Hal itu paling tidak dapat dilihat dari kategorisasi filsafat yang
mereka kembangkan yang mencakup tiga pilar utama pembahasan, yaitu
(Suriasumantri, 1987): filsafat ilmu, yaitu pembahasan filsafat yang
mengkaji persoalan benar atau salah; filsafat etika, pembahasan filsafat
yang mengkaji persoalan baik atau buruk; filsafat estetika, pembahasan
filsafat yang mengkaji persoalan indah atau jelek.
Jika kita mengacu pada tiga
pilar utama yang dicakup dalam pembahasan filsafat tersebut, maka kita dapat
memahami bahwa sumber-sumber ilmu pengetahuan hanya didapatkan dari akal
manusia, bukan dari agama, karena agama hanya didudukkan sebagai bahan
pembahasan dalam lingkup moral dan hanya layak untuk berbicara baik atau buruk
(etika), dan bukan pembahasan ilmiah (benar atau salah).
Dari prinsip dasar inilah ilmu
pengetahuan terus berkembang dengan berbagai kaidah metodologi ilmiahnya yang
semakin mapan dan tersusun rapi, untuk menghasilkan produk-produk ilmu
pengetahuan yang lebih maju. Dengan prinsip ilmiah ini pula, pandangan-pandangan
dasar berkaitan dengan aqidah maupun pengaturan kehidupan manusia sebagaimana
telah diuraikan di atas, semakin berkembang, kokoh dan tak terbantahkan karena
telah terbungkus dengan kedok ilmiah tersebut.
Dari seluruh uraian singkat di
atas, kita dapat menyimpulkan bahwa sekularisme telah hadir di dunia ini
sebagai sebuah sosok alternatif yang menggantikan sepenuhnya peran Tuhan dan
aturan Tuhan di dunia ini. Hampir tidak ada sudut kehidupan yang masih
menyisakan peran Tuhan di dalamnya, selain tersungkur di sudut hati yang paling
pribadi dari para pemeluk-peluknya yang masih setia mempertahankannya. Entah
mampu bertahan sampai berapa lama?
III.
UMMAT ISLAM DAN SEKULARISME
Perkembangan sekularisme di Barat ternyata tidak
hanya berhenti di tanah kelahirannya saja, tetapi terus berkembang dan
disebarluaskan ke seantero dunia, termasuk di dunia Islam. Seiring dengan proses penjajahan yang mereka
lakukan ide-ide sekularisme terus ditancapkan dan diajarkan kepada generasi
muda Islam. Hasilnya sungguh luar biasa, begitu negeri-negeri Islam mempunyai
kesempatan untuk memerdekakan diri, bentuk negara dan pemerintahan yang di
bangun ummat Islam sepenuhnya mengacu pada prinsip sekularisme dengan segala
turunannya. Mulai dari pengaturan pemerintahan, ekonomi, sosial, budaya,
termasuk tentunya adalah dalam pengembangan model pendidikannya. Boleh
dikatakan hampir tidak ada satupun bagian dari penataan negeri ini yang
terbebas dari prinsip sekularisme tersebut.
Bahkan di
garda terakhir, yaitu di lembaga pendidikan formal Islam di dunia Islam-pun
tidak luput dari serangan sekularisme tersebut. Pada awalnya (di Indonesia
tahun 1970-an), pembicaraan mengenai penelitian agama, yaitu menjadikan agama
(lebih khusus adalah agama Islam) sebagai obyek penelitian adalah suatu hal
yang masih dianggap tabu (Mudzhar, 1998). Namun jika kita menengok
perkembangannya, khususnya yang meyangkut metodologi penelitiannya, maka akan
kita saksikan bahwa agama Islam benar-benar telah menjadi sasaran obyek studi
dan penelitian. Agama telah didudukkan sebagai gejala budaya dan gejala sosial.
Penelitian agama akan melihat agama sebagai gejala budaya dan penelitian
keagamaan akan melihat agama sebagai gejala sosial (Mudzhar, 1998).
Jika
obyek penelitian agama dan keagamaan hanya memberikan porsi agama sebatas pada
aspek budaya dan aspek sosialnya saja, maka perangkat metodologi penelitiannya
tidak berbeda dari perangkat metodologi penelitian sosial sebagaimana yang ada
dalam episthemologi ilmu sosial dalam sistem pendidikan sekuler. Dengan
demikian ilmu yang dihasilkannya-pun tidak jauh berbeda dengan ilmu sosial
lainnya, kecuali sebatas obyek penelitiannya saja yang berbeda yaitu: agama!
Dengan
demikian, semakin lengkaplah peran sekularisme untuk memasukkan peran agama
dalam peti matinya. Oleh karena itu tidak perlu heran, jika kita menyaksikan di
sebuah negara yang mayoritas penduduknya muslim, peran agama (Islam) sama
sekali tidak boleh nampak dalam pengaturan kehidupan bermasyarakat dan
bernegara secara riil, kecuali hanya sebatas spirit moral bagi pelaku
penyelenggara negara, sebagaimana yang diajarkan oleh sekularisme.
Ummat
Islam akhirnya memiliki standar junjungan baru yang lebih dianggap mulia
ketimbang standar-standar yang telah ditetapkan oleh Al Qr’an dan As Sunnah.
Ummat lebih suka mengukur segala kebaikan dan keburukan berdasarkan pada
nilai-nilai demokrasi, HAM, pasar bebas, pluralisme, kebebasan, kesetaraan dll.
yang kandungan nilainya banyak bertabrakan dengan Islam.
IV.
PANDANGAN ISLAM TERHADAP SEKULARISME
Jika
sebuah ide telah menjadi sebuah raksasa yang menggurita, maka tentunya akan
sangat sulit untuk melepaskan belenggu tersebut darinya. Terlebih lagi ummat
Islam sudah sangat suka dan jenak dengan tata kehidupan yang sangat
sekularistik tersebut. Dan sebaliknya, mereka justru sangat khawatir dan takut
jika penataan negara ini harus diatur dengan syari’at Islam. Mereka khawatir,
syari’at Islam adalah pilihan yang tidak tepat untuk kondisi masyarakat
nasional dan internasional saat ini, yang sudah semakin maju, modern, majemuk
dan pluralis. Mereka khawatir, munculnya syari’at Islam justru akan menimbulkan
konflik baru, terjadinya disintegrasi, pelanggaran HAM, dan mengganggu
keharmonisan kehidupan antar ummat beragama yang selama ini telah tertata dan
terbina dengan baik (menurut mereka).
Untuk
dapat menjawab persoalan ini, marilah kita kembalikan satu-per satu masalah
ini pada bagaimana pandangan Al Qur’an
terhadap prinsip-prinsip sekularisme di atas, mulai dari yang paling mendasar,
kemudian turunan-turunannya. Kita mulai dari firman Allah dalam Q.S. Al Insan:
2-4:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari
setetes mani yang bercampur, yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan
larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat”
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya dengan jalan
yang lurus, ada yang bersyukur ada pula yang kafir”
“Sesungguhnya Kami menyediakan bagi orang-orang
kafir rantai, belenggu dan neraka yang menyala-nyala”
Ayat-ayat
di atas memberitahu dengan jelas kepada manusia, mulai dari siapa sesungguhnya
Pencipta manusia, kemudian untuk apa Pencipta menciptakan manusia hidup di
dunia ini. Hakikat hidup manusia di dunia ini tidak lain adalah untuk menerima
ujian dari Allah SWT, berupa perintah dan larangan. Allah juga memberi tahu
bahwa datangnya petunjuk dari Allah untuk hidup manusia bukanlah pilihan bebas
manusia (sebagaimana prinsip HAM), yang boleh diambil, boleh juga tidak. Akan
tetapi, merupakan kewajiban asasi manusia (KAM), sebab jika manusia menolaknya
(kafir) maka Allah SWT telah menyiapkan siksaan yang sangat berat di akherat
kelak untuk kaum kafir tersebut.
Selanjutnya,
bagi mereka yang berpendapat bahwa jalan menuju kepada petunjuk Tuhan itu boleh
berbeda dan boleh dari agama mana saja (yang penting tujuan sama), sebagaimana
yang diajarkan dalam prinsip pluralisme agama di atas, maka hal itu telah
disinggung oleh Allah dalam firmanNya Q.S. Ali ‘Imran: 19 & 85:
“Sesungguhnya
agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam”
“Barangsiapa mencari agama selain Islam,
sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dan di akhirat kelak dia
termasuk orang-orang yang merugi (masuk neraka)”.
Walaupun
Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan yang diridhai, namun ada
penegasan dari Allah SWT, bahwa tidak ada paksaan untuk masuk Islam. Firman Allah
SWT dalam Q.S. Al Baqarah: 256:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam),
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah”.
Jika
Islam harus menjadi satu-satunya agama pilihan, yang menjadi pertanyaan
berikutnya adalah, sejauh mana manusia harus melaksanakan agama Islam tersebut?
Allah SWT memberitahu kepada manusia, khususnya yang telah beriman untuk
mengambil Islam secara menyeluruh. Firman Allah SWT, dalam Q.S. Al Baqoroh:
208:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke
dalam Islam keseluruhannya dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan.
Sesungguhnaya setan itu musuh yang nyata bagimu”.
Perintah
untuk masuk Islam secara keseluruhan juga bukan merupakan pilihan bebas, sebab
ada ancaman dari Allah SWT, jika kita mengambil Al Qur’an secara
setengah-setengah. Firman Allah SWT dalam Q.S. Al Baqoroh: 85:
“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab
dan ingkar kepada sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang
berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan
pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah
tidak akan lengah dari apa yang kamu perbuat”.
Walaupun
penjelasan Allah dari ayat-ayat di atas telah gamblang, namun masih ada
kalangan ummat Islam yang berpendapat bahwa kewajiban untuk terikat kepada
Islam tetap hanya sebatas persoalan individu dan pribadi, bukan persoalan
hubungan antar manusia dalam bermasyarakat dan bernegara. Untuk menjawab
persoalan itu ada banyak ayat yang telah menjelaskan hal itu, di antaranya Q.S.
Al Maidah: 48:
“Maka hukumkanlah di antara mereka dengan
apa yang Allah turunkan, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka
(dengan meninggalkan) kebenaran yang telah datang kepada engkau”.
Perintah
tersebut menunjukkan bahwa Al-Qur’an diturunkan juga berfungsi untuk mengatur
dan menyelesaikan perkara yang terjadi di antara manusia. Dan dari ayat ini
juga dapat diambil kesimpulan tentang keharusan adanya pihak yang mengatur,
yaitu penguasa negara yang bertugas menerapkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal itu
diperkuat dalam Q.S. An Nissa’: 59:
“Hai orang-orang beriman, ta’atilah Allah dan
ta’atilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al Qur’an)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Selain
itu juga ada pembatasan dari Allah SWT, bahwa yang berhak untuk membuat hukum
hanyalah Allah SWT. Manusia sama sekali
tidak diberi hak oleh Allah untuk membuat hukum, tidak sebagaimana yang
diajarkan dalam prinsip demokrasi. Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al An’am: 57:
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia
menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik”.
Oleh
karena itu tugas manusia di dunia hanyalah untuk mengamalkan apa-apa yang telah
Allah turunkan kepadanya, baik itu menyangkut urusan ibadah, akhlaq,
pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan dsb. Jika manusia termasuk penguasa
enggan untuk menerapkan hukum-hukum Allah, maka ada ancaman yang keras dari
Allah SWT, diantaranya, firman Allah dalam Q.S. Al Maidah: 44, 45 dan 47:
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa
yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (44). …
orang yang zalim (45). … orang yang fasik (47)”.
Terhadap
mereka yang terlalu khawatir terhadap dengan diterapkannya syari’at Islam, dan
menganggap akan membahayakan kehidupan ini, maka cukuplah adanya jaminan dari
firman Allah SWT dalam Q.S. Al Anbiya’: 107:
“Dan tiadalah Kami mengutusmu kamu (Muhammad),
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.
Ayat
tersebut menerangkan bahwa munculnya rahmat itu karena diutusnya Nabi (yang
membawa Islam), bukan yang sebalikya, yaitu setiap yang nampaknya mengandung
maslahat itu pasti sesuai dengan Islam. Dengan demikian jika ummat manusia
ingin mendapatkan rahmat dari Tuhannya, tidak bisa tidak melainkan hanya dengan
menerapkan dan mengamalkan syari’at Islam. Selain itu, ayat tersebut juga
menegaskan bahwa rahmat tersebut juga berlaku untuk muslim, non muslim maupun
seluruh semesta alam ini. Insya Allah. Wallu a’lam bishshawab.
DAFTAR RUJUKAN
Al-Qur’anul
Karim.
Altwajri, Ahmed O., 1997. Islam, Barat
dan Kebebasan Akademis. Titian Ilahi Press. Jogjakarta.
Audi, Robert, 2002. Agama
dan Nalar Sekuler dalam Masyarakat Liberal. Terj: Yusdani & Aden Wijdan. PSI UII &
UII Press. Yogyakarta.
Deliarnov, 1997, Perkembangan
Pemikiran Ekonomi, Rajawali Press, Jakarta.
Papp, S. Daniel, 1988. Contemporary International Relations -
Frameworks fo Understanding. Macmillan Publishing Company, New York.
Coller Macmillan Publishing, London.
Robert, Geoffrey & Jill Lovecy, 1984. West European Politics
Today. Manchester Univesity Press, New Hampshire, USA.
Suriasumantri, Jujun S. 1987.
Filsafat Ilmu – Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Widodo, Bambang E. C.,
2004. Demokrasi antara Konsep dan Realita. Makalah Diskusi Publik HTI.
29 Pebruari 2004. Jogjakarta.