Ahlan wa Sahlan akhi wa ukhti..
Belajar menjadi muslim sejati, Blog orang islam dan yang mau belajar Islam, berisi tentang artikel Islam, semoga bermanfaat dan disini kita saling sharing bareng, Pengunjung yang baik meninggalkan komentar dan join dengan klik "join this site" di bawah ini... Allohu akbar! Terus semangat untuk terus belajar Islam secara kaffah(menyeluruh)...
Gabung di sini dengan klik "join this site"
Daftar Isi
Home »Unlabelled » JIHAD DALAM PERSPEKTIF ISLAM
JIHAD DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Diposting oleh break_through on Kamis, 11 Oktober 2012
Ahmad
Syafii Maarif
Pendahuluan
Di antara
kata yang sering ditakuti, dibenci, disalahpahami, dibonsaikan maknanya, dan
juga dielukan, adalah kata jihad.
Dalam literatur Barat umumnya kata jihad itu diterjemahkan dengan Holy War (Perang Suci), padahal perang
hanyalah salah satu bentuk saja dari jihad. Dalam al-Qur’an kata jihad dengan berbagai derivasinya
terdapat sebanyak 41 kali, baik dalam surat-surat yang diturunkan di Makkah
(makkiyah) mau pun dalam surat-surat yang diturunkan di Madinah (madaniyah)
(‘Abd al-Baqi, 1981; 182-183). Shihab, 1996; 500-520). Akar kata jihad adalah j-h-d menjadi jahd dan juhd (keletihan,
kegentingan, ketegangan, kepedihan, kesulitan, upaya, kemampuan, kerja keras,
dan yang mirip dengan itu (Wehr, 1976: 142-143). Ayat jihad dalam arti perang (qital) melawan musuh sebagai salah satu
maknanya baru turun pada tahun kedua hijriyah yang kemudian digumulkan dengan
realitas yang kongkret dalam Perang Badar (624) yang terkenal itu. Di sini
jihad dan qital (perang) menjadi sinonim. Makalah ini akan mencoba secara
kritis meneropong konsep jihad dalam perspektif Islam, baik dari sudut doktrin
maupun dari sudut sejarah, dan kira-kira untuk situasi Indonesia sekarang
doktrin jihad yang bagaimana yang perlu dikembangkan dan ditegakkan dalam
rangka menciptakan sebuah tatanan sosio-politik yang egalitarian, adil, dan
bermoral (Rahman, 1980: 62) untuk semua golongan tanpa diskriminasi. Tatanan
semacam inilah yang harus menjadi muara dan tujuan perjuangan kita bersama untuk
sebuah Indonesia baru yang adil, makmur, ramah, toleran, dan sehat.
Jihad dalam
perspektif doktrin dan sejarah
Kita tengok
selintas situasi Islam pada awal kemunculannya pada abad ke-7 M. dan mengapa
perintah jihad itu diberikan. Pada saat komunitas kecil Muslim baru saja hijrah
ke Madinah (622 M.) dalam keadaan yang masih lemah dan letih karena diusir,
sementara pihak musuh (Quraisy Makkah) semakin agresif dan beringas, perintah
jihad yang pertama kali justru diturunkan. Tujuannya adalah agar komunitas baru
ini tetap tegar dan tabah, tidak hancur berantakan dalam lingkungan yang serba
keras, kasar, dan penuh kebencian serta dendam kesumat. Kedatangan al-Qur’an
dengan prinsip keadilannya bagi elit Makkah sebagai kota komersial berarti akan
membahayakan hak— hak monopoli mereka pada sumber-sumber ekonomi dan
perdagangan. Oleh sebab itu Muhammad jangan sampai punya kedudukan yang kokoh
di Madinah, sebab pasti akan mengancam posisi mereka. Jihad dalam arti perang
pada saat itu adalah untuk mempertahankan diri dengan segala kesungguhan daya
dan upaya. Jika tidak demikian komunitas itu akan lenyap ditelan oleh kekuatan
sejarah yang amat tidak bersahabat itu. Perintah itu terdapat dalam surat
al-Baqarah dan al-Hajj: jihad dalam
makna qital (perang).
Dan perangilah di jalan Allah mereka yang
memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas (190). Dan bunuhlah mereka di mana
pun kamu jumpai, dan keluarkanlah mereka dari tempat mereka mengusir kamu
(Makkah), padahal fitnah itu lebih jahat dari pembunuhan. Dan janganlah kamu
perangi mereka di masjid al-haram hingga mereka memerangi kamu di situ. Maka
kalau mereka memerangi kamu (di situ), bunuhlah mereka. Begitulah balasan untuk
orang-orang yang kafir (191). Tetapi jika mereka berhenti, maka sesungguhnya
Allah itu Pengampun, Penyayang (192). Dan perangilah mereka itu hingga tidak
ada lagi fitnah (siksaan, gangguan, penganiayaan), dan jadilah agama itu karena
Allah. Tetapi jika mereka berhenti, maka tidak boleh ada lagi permusuhan, kecuali
atas orang-orang yang zalim (193) (Q.S. Al-Baqarah: 190-193).
Bagi umat Islam
pada waktu itu perintah jihad ini sungguh sangat berat, karena mereka baru saja
membentuk komunitas di Madinah, sebuah komunitas yang belum stabil. Kemudian
dalam surat al-Hajj, izin berperang itu kita baca dengan redaksi yang berbeda
sebagai berikut:
Diizinkan (berperang) bagi mereka yang
diperangi, karena sesungguhnya mereka dianiaya, dan sesungguhnya Allah amat
berkuasa menolong mereka (39). (Yaitu) mereka yang diusir keluar dari
negeri-negeri mereka dengan tidak ada alasan yang benar, kecuali karena mereka
berkata: “Tuhan kami ialah Allah! Dan sekiranya Allah tidak melindungi manusia
sebagiannya terhadap sebagian yang lain, niscaya dihancurkanlah tempat
pertapaan dan gereja-gereja Kristen, tempat-tempat sembahyang Yahudi, dan masjid-masjid
di mana nama Allah banyak disebut. Dan sesungguhnya Allah menolong siapa yang
membela agamaNya, karena sesungguhnya Allah itu kuat, gagah (40) (Q.S.
Al-Hajj: 39-40).
Ayat-ayat di
atas jelas sekali menunjukkan makna perang dalam arti defensif, sekalipun pada
ayat-ayat lain dapat pula berbentuk ofensif, tergantung jika situasi mengharuskan
demikian, sepanjang hal itu untuk menghapuskan kerusakan di muka bumi (fasad fi
‘i-ardh), menjaga rumah-rumah ibadat, bukan merusak atau membakarnya, serta
kemudian membangun peradaban dengan cara yang baik dan adil (ishlah). lnilah
fungsi kekuasaan dalam Islam, sekalipun tidak jarang dilecehkan oleh umatnya
sendiri. Memang tidak diragukan lagi bahwa al-Qur’an menyuruh umat Islam untuk
membangun sebuah tatanan politik di dunia untuk tujuan di atas (Rahman, op.cit:
62). Tetapi mengenai apa nama tatanan itu dan bagaimana sistemnya, al-Qur’an
tidak menjelaskan dengan rinci, dengan catatan bahwa prinsip musyawarah sebagai
simbol egalitarianisme harus dipertahankan. Tergantunglah kepada hasil
pemikiran dan kesepakatan bersama untuk merumuskan nama dan sistem kekuasaan
itu. Dengan demikian istilah Negara Islam (al-Daulah al-Islamiyah) adalah ciptaan
sejarah abad ke-20. Orang tidak akan menjumpai istilah itu dalam al-Qur’an sunnah
nabi, dan dalam literatur klasik mana pun. Tentang kekuasaan al-Qur’an
menyatakan: “Mereka yang, jika Kami beri kekuasaan di muka bumi, akan mendirikan
salat, membayarkan zakat, memerintahkan kebaikan (al-ma’ruf) dan mencegah
kejahatan (al-munkar), dan milik Allah-lah akibat segala urusan.” (Q.S.
Al-Hajj: 41) Secara logis tidaklah mungkin orang memerintahkan kebajikan dan
mencegah kejahatan dengan efektif, tanpa adanya kekuasaan. Hanya yang perlu
dijawab terlebih dulu adalah pertanyaan: untuk apa berkuasa? Al-Qur’an dalam
ungkapan di atas dengan sangat gamblang telah memberikan jawaban terhadap
pertanyaan itu. Sebenarnya Islam secara teoretik tidak menemui banyak kesulitan
untuk memahami dan menerima prinsip demokrasi modern dengan modifikosi di
sana-sini selama watak sekulernya dikesampingkan.
Masih pada
periode awal hijrah itu ayat jihad berikut diturunkan:
“Dan berjihadlah kamu di (jalan) Allah
dengan jihad yang sungguh-sungguh, karena ia telah memilihmu (untuk itu). Dan ia
tidak jadikan atas kamu dalam agama suatu perkara yang berat, agama bapamu,
lbrahim ia telah menamakan kamu Muslimin sebelum itu dan dalam (Qur’an) ini,
supaya rasul jadi saksi atas kamu dan supaya kamu jadi saksi atas manusia. Maka
dirikanlah salat, bayarkan zakat, dan berpeganglah dengan (tali) Allah. Ia
Pelindung kamu, malah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.”
(Q.S. Al-Hajj: 78)
Dalam
lingkungan sejarah Arabia abad ke-7, metode kekerasan dan ancaman memang
merupakan norma sehari-hari dalam menyelesaikan sengketa antar suku dan puak.
Bahkan dua imperium besar Bizantium dan Sasaniah pada abad itu juga terlibat
dalam perang dahsyat yang penuh kekerasan. Maka bagi komunitas Islam yang berusia
sangat muda itu tidak ada jalan lain untuk bertahan dan mengerahkan kekuatan-kekuatan
sejarah, kecuali dengan jihad. (An-Na’im, 1990: 142) Tanpa jihad tujuan untuk
menegakkan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar tidak dapat dibayangkan. Oleh
sebab itu nabi dan para pengikutnya harus mengatur strategi dan taktik yang
jitu untuk menghadapi pihak Quraisy yang setiap saat mengancam untuk
menghancurkan Madinah. Ancaman itu akhirnya menjadi kenyataan dalam bentuk
Perang Badar pada 624 M., seperti telah disinggung sedikit di atas. Di bawah
pimpinan nabi, komunitas Muslim yang kecil itu harus berjihad habis-habisan,
mengerahkan segala daya dan upaya, sebab bagi mereka perang itu akan sangat
menentukan hari depan mereka: to be or
not to be seperti tercermin dalam do’a Rasul Allah: “Ya Allah, di sini pihak Quraisy dengan segala kecongkakannya sedang
berupaya untuk mendustakan nabiMu. Ya Allah, aku nantikan pertolonganMu yang
telah engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, sekiranya pasukan kecil ini hancur binasa
hari ini, Engkau tidak akan disembah lagi.” (Haikal, 1969: 276) Sebuah lirik
do’a yang disampaikan dengan seluruh kekuatan jiwa. Do’a ini dikabulkan Allah,
maka jadilah Perang Badar itu dimenangkan pasukan Muslim, sekalipun
perbandingan dua kekuatan itu adalah satu lawan tiga. Peristiwa Badar telah
menjadi salah satu pilar utama sebagai realisasi doktrin jihad guna menopang
perkembangan Islam selanjutnya untuk tampil sebagai agama dunia dalam tempo
yang relafif singkat. Sekalipun pasukan Muslim kalah dalam perang berikutnya,
Perang Uhud (625 M), umat Islam sudah jauh lebih konfiden untuk menghadapi
segala kemungkinan yang terburuk sekalipun. Sebelum nabi wafat pada 632 M.
masih ada beberapa pertempuran lagi, tetapi tidak akan dibicarakan dalam makalah
ini.
Timbul
pertanyaan kemudian: dengan cara orang sering mengatasnamakan jihad, apakah
Islam itu disiarkan dengan mata pedang menginga nabi dan generasi berikutnya
banyak terlibat dalam berbagai peperangan? Di kalangan penulis Barat selama
berabad-abad bahkan sampai sekarang masih ada yang meyakini bahwa Islam itu
memang agama pedang. Karen Armstrong dalam artikelnya untuk mingguan Time setelah Tragedi 11 September 2001
yang memunculkan banyak tuduhan bahwa Islam itu identik dengan terorisme
menulis:
The Primary meaning the word jihad is not
‘holy war’ but ‘struggle’ if refers to the difficult effort that is needed to
put God’s will into practice at every level-personal and social as well as as
political….
Islam did not impose itself by the sword. In a statement in which the
Arabic is extremely emphatic, the Koran insists, “There must be no coercion in
matters of faith!” (2-256). Constantly Muslims are enjoined to respect Jews and
Christians, the ‘People of the Book’, who workship the same God (29-46). In
words quoted by Muhammad in one of his last public sermons, God tells all human
beings. O people! We have formed you into nation and tribes so that may know
one another” (49: 13) – not to conquer. Convert, subjugate, revile or slaughter
but to reach out towards others with intelligence and understanding.” (Armstrong,
2001: 25) (Bersambung)
SM No.15/87 2002
Situasi peradaban (atau
kebiadaban?) dalam konstelasi serba global sekarang ini memang serba ruwet dan
tidak mudah dipahami, kecuali bila kita mampu membaca akar masalahnya yang
paling dalam. Harus diakui bahwa umat Islam yang masih berada di buritan
peradaban tampaknya sekarang sedang menggapai dengan tertatih-tatih untuk
merumuskan jatidirinya yang terkoyak karena
kesalahan yang dilakukan
selama berabad-abad. Sebagian mereka memakai kaca mata buram hingga tak
mampu lagi melihat realitas yang serba getir dengan sabar dan pikiran jernih; mereka
seperti telah kehilangan harapan dan
masa depan. Derita rakyat Palestina adalah
di antara persoalan yang
sangat mencekam yang dirasakan umat Islam sedunia, tapi rnereka tak
berdaya berhadapan dengan Israel dengan bapak angkatnya yang sama-sama memiliki
bom nuklir. Negara-negara Arab pun tidak dapat berbuat banyak karena mereka
juga mengidap kanker perpecahan yang parah. Ulama mereka karena buta situasi
yang sebenarnya ada yang memperdagangkan ayat
atas nama Tuhan, sebagaimana kritik Iqbal terhadap kelakuan
para mulla di India sebelum pertengahan abad yang lalu. Dalam Javed Namah
Iqbal melontarkan kritik tajamnya: "Agama si Mulla sedang menimbulkan kekacauan
atas nama Tuhan." (Maarif, 2002: 17-18) Negara-negara Arab tidak jarang
saling baku hantam atas nama agama. Inilah tragedi
sejarah yang masih berlangsung di
depan mata kita, entah untuk berapa lama.
Bagaimana memahami sikap nekad
manusia dalam bentuk bom bunuh diri, pembajakan, dan yang serupa itu? Kita
kutip lagi Armstrong:
So why the suicide bombing, the
hijacking and the massacre of innocent civilians? Far from being endorsed by
the Koran, this killing violets some of the most sacred precepts. But during
the 20th century, the militant form of piety often known as fundamentalism
erupted in every major religion as a rebellion against modernity. Every
fundamentalist movement I have studied in Judaism, Christianity and Islam is
convinced that liberal, secular sociely is determined to wipe out religion.
Fighting, as they imagine, a battle for survival, fundamentalist often
feel justified in
ignoring the more compassionate principles of their
faith. But in amplifying the more aggressive passages that exist in all our
scriptures, they distort the tradition. (Armtrong, op.cit.: 25)
Apakah terdapat iandasan teologis
bagi umat Islam untuk membenci pihak lain, seperti orang Yahudi misalnya? Sepanjang
pengetahuan saya, landasan untuk itu tidak ada sama sekali. Jika kemudian
terdapat kesan bahwa umat Islam tidak menyukai Israel, bukan karena Yahudinya,
tetapi karena zionismenya yang imperialistik. Pengalaman sejarah masa lampau
justru membuktikan bahwa orang-orang Yahudi mendapat perlindungan dan kebebasan
di negara-negara Muslim pada saat mereka diusir oleh Inquisisi Katolik di
Spanyol pada abad pertengahan yang menghancurkan komunitas-komunitas mereka di
sana. Banyak di antara pelarian itu pergi mencari perlindungan ke Istambul dan
kota-kota lain dalam wilayah imperium Turki Usmani. (Hourani, 1992: 241)
Mengenai toleransi agama menurut
catatan Bertrand Russell, sikap para khalifah abad-abad pertengahan cukup mengesankan
untuk jadi bukti: "lmperium para Khalifah bersikap lebih ramah (much kinder) terhadap orang-orang Yahudi dan
Kristen tinimbang negara-negara
Kristen terhadap orang-orang Yahudi dan Muslim. Orang-orang Yahudi dan
Kristen dibiarkan tak terganggu asal mereka bayar upeti. Anti-Semitisme
dimotori oleh pihak Kristen sejak saat Imperium Romawi menjadi Kristen.”
(Russel, 1957: 202)
Zionisme bukan saja ditolak oleh
dunia beradab, tetapi juga ada tokoh Israel yang menentangnya. Seorang penulis dan
aktivis perdamaian Israel, Uri Avnery (lh. 1923), yang juga pernah menjadi
anggota Knesset (Parlemen Israel) dikenal salah seorang penentang yang gigih
terhadap Zionisme sejak Zionisme telah semakin imperialistik. Rencana perdamaiannya
bagi konflik Arab-Israel telah dituangkannya dalam karyanya yang terkenal:
Israel Without Zionism dengan proposal pembentukan sebuah Konfederasi
Arab-Israel, sebuah Pax Semitica . (Avnery, 1971: 234-246) Dalam usianya yang sudah
gaek Avnery baru-baru ini masih bersuara garang menantang politik Ariel Sharon yang
brutal terhadap Palestina dan ingin membunuh Arafat. Avnery menulis:
"If Ariel Shoron succeeds in murdering Yasser Arafat, as he wants
to, the Palestinian leader will remain in the collective memory of his people,
and the whole Arab world, like Moses in Jewish memory. ...Sharon, a bloody
person who has not done anything in life apart from shedding blood and set up
settlements.... The dead Arafat will be by far more dangerous than the living
Arafat. The living Arafat is able and willing to make peace. The dead Arafat
can not. He will eternalise the conflict.” (Avnery, 2002: 4)
Saya rasa perjuangan rakyat
Palestina untuk memperoleh kemerdekaan tanahairnya dapat dikategorikan sebagai jihad,
selama penjuangan itu tetap berada dalam koridor "Jalan Allah." Di luar
kategori itu akan menjadi perang biasa, atau perang antara dua nasionalisme,
betapa pun banyaknya darah yang
tertumpah. Ke dalam kategori kedua inilah kita menempatkan Perang Irak-Iran
pada 1980-an yang banyak memakan korban itu. Sekalipun ulama pada kedua belah
pihak menyebutnya jihad.
Jihad dalam perspektif
keindonesiaan baru
Dalam perspektif bangunan Indonesia baru yang ramah dan
adil, konsep jihad harus ditenjemahkan dengan kerja keras
dengan penuh kesungguhan dan kejujuran untuk membangun kebersamaan di antara
berbagai golongan, aliran, suku, dan pemeluk agama yang berbeda. Dapat juga
diartikan perang, yaitu perang melawan korupsi dan kemunafikan yang telah
membawa bangsa ini ke pinggir jurang
kehancuran. Dosa dan
dusta kolektif yang dipertontonkan selama ini harus
dihentikan sampai di sini saja! Saya menyerukan agar elit politik kita berhenti memikirkan
diri sendiri dan kepentingan jangka pendek mereka dengan mengorbankan
eksistensi bangsa untuk jangka panjang. Dalarn periode transisional yang sangat
kritis ini semua kekuatan akal sehat harus berunding bersama secara tulus
dengan tujuan tunggal: menyelamatkan masa depan bangsa dari kebangkrutan total,
jika kita memang masih menginginkan Indonesia tidak masuk ke dalam museum
sejarah. Kita berlomba dengan waktu yang berputar sangat cepat. Baron Schelto
van Heemstra, Duta Besar Belanda untuk Indonesia, dalam sebuah perbincangan dengan saya yang
berlangsung pada 23 April 2002 di Kantor PP Muhammadiyah Jakarta, sempat
menghibur: "Asal tidak terlambat, krisis Indonesia akan dapat diatasi, tetapi korupsi
harus dihentikan segera." Saya setuju dengan pendapat itu, tetapi siapkah
kita berjihad melawan korupsi?
Penutup
Dalam Ecclesiastes seperti
dikutip Avnery (1971: 246) kita membaca
kalimat: “For everything there is a season, and a time for every matter under
heaven.” Sekarang waktunya sudah sangat tinggi bagi kita semua untuk berkata
jujur kepada bangsa ini dan mengucapkan selamat tinggal kepada semua dosa dan
dusta masa lampau. Hanya dengan cara inilah barangkali masa depan kita dapat diselamatkan.
Sumber: SM-14-2002
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar